HUKUM ISBAL
Oleh :
Al-Faqiir ilaa
rahmati Rabbihi ; Muhammad Basit
Islam adalah Agama rahmat yang datang dari sisi Allah –Subhanahu
wa Ta’ala- yang begitu sempurna dalam mengatur perkara-perkara yang dapat
membawa kita kepada kemashlahatan duniawi maupun kemashlahatan ukhrawi. Betapa
banyak perkara-perkara yang menurut kita “kecil” ternyata Islam membahasnya
begitu sempurna sehingga jika kita mau memperhatikan secara saksama
pembahasan-pembahasan tersebut maka kita akan mengambil kesimpulan bahwa
ternyata apa yang kita anggap “kecil” (atau kita anggap “kulit”) selama ini ternyata
merupakan perkara yang amat besar.
Sebagai contoh apa yang biasa kita baca dari hadits-hadits Nabi
–Shallallahu ‘alaihi wasallam- yang membahas masalah adab buang air maka
sejenak kita bisa saja berpikir “buang air aja kok di permasalahkan” atau
dengan pernyataan lain “Hari gini kok masih bahas masalah WC..!!!” atau dengan
pernyataan-pernyataan lain yang begitu terang menunjukkan bahwa ternyata kita
masih memiliki sikap menganggap remeh aturan-aturan Islam yang dibawa oleh
Rasulullah Muhammad –Shallallahu ‘alaihi wasallam-. Padahal kalau kita ditanya
“apakah aturan Islam ini sempurna..?, maka dengan semangat 45 kita akan
menjawab “Iya”, jika kita ditanya, apakah aturan-aturan Islam dapat membawa
kita kepada kemashlahatan..?, maka dengan semangat jiwa patriotisme pula kita
akan menjawab “Iya”. Lantas mengapa masih banyak diantara kita yang begitu
mudahnya menolak aturan-aturan tersebut dengan alasan bahwa pembahasan seperti
itu tidak cocok lagi dibahas di zaman ini..??.
Lewat tulisan singkat ini kami sampaikan
bahwa diantara perkara yang
dibahas oleh Islam yang
tidak sepatutnya dianggap remeh adalah hal-hal yang berkaitan dengan pakaian, semisal hukum
memanjangkan kain sampai melewati mata kaki (isbal) bagi laki-laki.
Isbal adalah menurunkan pakaian (sarung, celana, jubah dan
semacamnya) kemudian menutupi atau melewati kedua mata kaki, adapun pelakunya
disebut Musbil.
Isbal adalah perkara yang tidak boleh dianggap sepele berdasarkan
hadits-hadits shahih yang menyebutkan ancaman bagi para pelaku isbal dan
ancaman itu lebih keras lagi jika seorang musbil melakukannya dengan disertai
kesombongan. Mungkin ada yang bertanya ; “Bagimana jika saya melakukannya tidak
karena sombong..??”..Bukankah ada juga ulama yang membolehkan isbal asalkan
tidak disertai dengan kesombongan..??”. Maka berikut ini kami sajikan
beberapa dalil yang menjadi pegangan kami dalam menyimpulkan hukum Isbal tanpa
disertai kesombongan tentunya tanpa ada maksud untuk merendahkan pendapat yang
berseberangan dengan kami. Tepatnya, tulisan ini kami tujukan kepada
mereka para pembenci, pengejek dan penghina yang sesungguhnya kurang bahkan
tidak memiliki pemahaman agama yang baik.
Dalil pertama :
Allah Ta’ala berfirman :
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ
أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ
كَثِيرًا
“Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan
yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”. (Al-Ahzab ayat 21).
Bukankah Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam- merupakan suri
tauladan yang baik bahkan dalam hal cara berpakaian sekalipun..??..bukankah
Nabi - Shallallahu ‘alaihi wasallam- senantiasa menjaga diri dari isbal..??.
Tidak sedikit diantara kita yang merasa risih bahkan sudah sampai
pada tingkatan mengejek saudara-saudara kita yang menghidupkan sunnah ini
dimana sebenarnya orang yang merasa risih atau mengejek tersebut sadar bahwa
itu merupakan tuntunan Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wasallam-. Na’am,
anggaplah bahwa kita beranggapan meninggikan kain diatas mata kaki adalah
sunnah (mustahab), tapi bukankah merupakan kekeliruan yang sangat besar jika
kita mengejek tuntunan-tuntunan Nabi sekecil apapun itu..??..semoga Allah
Ta’ala menjauhkan kita semua dari sifat atau sikap seperti ini.
Dalil kedua :
Allah Ta’ala berfirman :
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا
نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ
الْعِقَابِ
“Apa yang didatangkan Rasul kepadamu, Maka
terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah dan bertakwalah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras siksaan-Nya”.(Al-Hasyr ayat 7)
Bukankah tuntunan menaikkan ujung kain diatas mata kaki datang
dari Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam-..??..bukankah larangan isbal itu
datang dari Nabi -–Shallallahu ‘alaihi wasallam-..??..Mari kita cermati ayat
ini lalu hubungkan dengan sikap kita, termasukkah kita dalam ayat ini ataukah
tidak..??.
Dalil ketiga :
Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda :
فَمَنْ رَغِبَ عَنْ
سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
“ (maka) barang siapa yang benci kepada sunnahku maka bukan dari
(golongan)ku” (HR. Bukhari : 5063 dan Muslim : 1401).
Buat kita yang suka mengejek aturan-aturan islam, apakah kita
masuk dalam hadits ini atau tidak..??..kalau kita jawab “Iya” maka berarti kita
telah dzalim dan menjerumuskan diri kita sendiri kedalam kebinasaan. Jika kita
jawab “tidak” maka kita termasuk orang yang bodoh, bukankah mengejek termasuk bentuk
kebencian..??..kalau kita menjawab “iya” maka kita termasuk dalam hadits ini.
Bila kita menjawab “tidak” maka apa bedanya kita dengan orang gila yang
tiba-tiba mengejek tanpa dasar kebencian..??. Jika ada diantara kita yang
mengatakan “saya tidak benci hanya saja saya tidak suka” maka jawabannya, mari
kita cermati dalil-dalil diatas sebelum kita dianggap telah serupa dengan orang
gila.
Dalil keempat :
Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda :
وَلاَ تَحْقِرَنَّ شَيْئًا مِنَ
الْمَعْرُوفِ وَأَنْ تُكَلِّمَ أَخَاكَ وَأَنْتَ مُنْبَسِطٌ إِلَيْهِ وَجْهُكَ
إِنَّ ذَلِكَ مِنَ الْمَعْرُوفِ وَارْفَعْ إِزَارَكَ إِلَى نِصْفِ السَّاقِ فَإِنْ
أَبَيْتَ فَإِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِيَّاكَ وَإِسْبَالَ الإِزَارِ فَإِنَّهَا مِنَ
الْمَخِيلَةِ وَإِنَّ اللَّهَ لاَ يُحِبُّ الْمَخِيلَةَ وَإِنِ امْرُؤٌ
شَتَمَكَ وَعَيَّرَكَ بِمَا يَعْلَمُ فِيكَ فَلاَ تُعَيِّرْهُ بِمَا تَعْلَمُ
فِيهِ
“Jangannlah engkau meremehkan kebaikan (sekecil) apapun itu ; (1).
(yaitu) agar engkau berbicara dengan saudaramu sedang engkau berwajah manis
kepadanya, sesungguhnya yang demikian itu termasuk kebaikan, (2). angkatlah (naikkanlah) kainmu
hingga pertengahan betis (maka) jika engkau merasa enggan maka cukup hingga
(mendekati) mata kaki (dan) hati-hatilah engkau dari mengisbalkan pakaian
karena sesengguhnya (perbuatan) itu termasuk kesombongan dan Allah tidak
menyukai kesombongan, dan (3). jika seseorang mencaci maki dan
menjelek-jelekkanmu dengan sesuatu yang dia ketahui tentang dirimu maka
janganlah engkau menjelek-jelekkannya dengan sesuatu yang engkau ketahui
tentang dirinya.........”. (HR. Abu Dawud No. 4084 dan dishahihkan
oleh Al-Imam Al-Albani).
Coba kita lihat dalam hadits ini, bukankah Rasulullah –Shallallahu
‘alaihi wasallam-memperingatkan dari perbuatan mengisbalkan pakaian apalagi
beliau menambahkan bahwa perbuatan tersebut termasuk kesombongan..??..bukankah
di awal hadits ini beliau melarang meninggalkan kebaikan sekecil apapun itu
termasuk didalamnya agar kita jangan isbal..??..mengapakah kita merasa risih
atau bahkan sampai mengejek mereka yang melakukan sunnah ini..??..Jika kita
ditanya, Apakah dalam hadits ini Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wasallam-
sedang mengajari kita pekara-perkara kebaikan..??..kalau kita (sang pengejek)
menjawab “Iya” berarti kita telah mengejek kebaikan yang diajarkan oleh baginda
-Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wasallam-. Jika kita menjawab “tidak” berarti
kita termasuk orang yang buta lagi tidak waras.
Dalil kelima :
Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda :
ما أسفَلَ مِن الكَعبينِ
مِن الإزارِ، ففي النَّارِ
“(kain) apa saja yang berada dibawah mata kaki maka (mata kaki
itu) di neraka” (HR. Bukhari No. 5787).
Keumuman yang dicakup oleh hadits ini :
1. Pakaian apapun yang
menjulur kebawah dan melewati mata kaki maka mata kaki itu di neraka ;
2. Hadits ini berlaku bagi
pelaku isbal, baik disertai kesombongan maupun tidak dan bahkan pelaku isbal
yang disertai kesombongan maka tentunya ancamannya lebih keras lagi sebagaimana
yang disebutkan dalam riwayat yang lain.
Dalil keenam :
Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda :
يا سفيانُ بنَ سَهلٍ
لا تُسبِلْ فإنَّ اللَّهَ لا يحبُّ المسبلينَ
“Wahai Sufyan bin Sahl, janganlah engkau sibal karena sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang isbal”.(HR. Ibnu Majah, Lihat Kitab
As-Shahihah oleh Imam Al-Albani No. 4004).
Dalil ketujuh :
Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda :
عَنْ عَمْرِو بْنِ الشَّرِيدِ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: أَبْصَرَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا يُسْبِلُ إِزَارَهُ،
فَأَسْرَعَ إِلَيْهِ , أَوْ هَرْوَلَ إِلَيْهِ , فَقَالَ: «ارْفَعْ إِزَارَكَ،
وَاتَّقِ اللهَ» , قَالَ: إِنِّي أَحْنَفُ السَّاقَيْنِ تَصْطَكُّ رُكْبَتِي، قَالَ:
«كُلُّ خَلْقِ اللهِ حَسَنٌ» قَالَ: فَمَا رُؤِيَ ذَلِكَ الرَّجُلُ إِلَّا
وَإِزَارُهُ إِلَى نِصْفِ سَاقَيْهِ
Dari ‘Amr bin Syarid dari Bapaknya, beliau berkata : Nabi
–Shallallahu ‘alaihi wasallam- melihat seseorang dari jauh sedang mengisbalkan
pakaiannya, kemudian Beliau bergegas atau berlari kecil menuju orang tersebut,
lalu Beliau –Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda : “Angkatlah sarung
(pakaian)mu dan bertaqwalah kepada Allah”. Orang tersebut berkata :
sesungguhnya kaki saya cacat, kedua lututku saling menempel. Kemudian Nabi
-–Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda : “Setiap ciptaan Allah itu indah”.
(Setelah itu) orang tersebut tidak pernah lagi terlihat melainkan sarung
(pakaian)nya sudah sebatas setengah betis. (HR. At-Thabrani dalam Mu’jamul
Kabir No. 7421. Lihat Shahih Jami’us Shaghir No. 902 dan As-Shahihah No. 1441).
Coba kita perhatikan Dalil keenam dan ketujuh diatas :
1. Bagaimana semangat Nabi
-–Shallallahu ‘alaihi wasallam- dalam memperingati umat akan perkara
Isbal ;
2. Kedua riwayat ini
menunjukkan bahwa kedua orang yang isbal tersebut tidaklah melakukannya karena
sombong. Andaikan nampak kesombongan pada diri mereka maka Nabi –Shallallahu
‘alaihi wasallam- pasti tidak akan lalai dari memperingati kedua orang tersebut
dari kesombongan dimana telah kita ketahui bersama bahwa kesombongan merupakan
petaka yang amat besar. Namun kenyataannya Nabi hanya menyuruh mereka menaikkan
kain mereka tanpa perduli mereka sombong atau tidak.
Kesimpulannya bahwa kedua orang yang ditegur oleh
Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam- tersebut tidaklah melakukan isbal dalam
keadaan sombong.
Jika ada yang mengatakan “sombong dan tidaknya
seseorang itu kan perkara hati”..maka kita jawab : Betul, bahwa sombong
tidaknya seseorang adalah perkara hati. Tapi coba kita lihat praktik Nabi
–Shallallahu ‘alaihi wasallam- dalam memperingati kedua orang tersebut..apakah
sebelum beliau menyuruh keduanya untuk menaikkan pakaian beliau bertanya dulu :
“apakah kalian sombong..??”..ternyata “tidak”.
Mari kita bertanya kepada si Risih dan si
Pencela yang “tidak sombong” (katanya sih gitu..!!)..: apakah ada jaminan hati
kita ini selalu bersih dari sifat sombong dan ‘ujub (berbagga diri)..??..kalau
kita menjawab “iya” maka ingat firman Allah :
فَلا
تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى
“Maka janganlah kamu mentazkiyah (mengatakan
dirimu suci). Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa” (Surah An-Najm ayat : 32).
Namun jika kita menjawab “tidak” maka jagalah
diri kita dari isbal.
Olehnya itu, sombong atau tidak maka naikkanlah
pakaianmu wahai saudaraku..!!.
Dalil kedelapan :
Rasulullah –Shallallahu
‘alaihi wasallam-bersabda :
مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ لَمْ يَنْظُرِ اللَّهُ إِلَيْهِ
يَوْمَ القِيَامَةِ قَالَ أَبُو بَكْرٍ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ أَحَدَ
شِقَّيْ إِزَارِي يَسْتَرْخِي، إِلَّا أَنْ أَتَعَاهَدَ ذَلِكَ مِنْهُ ؟ فَقَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَسْتَ مِمَّنْ يَصْنَعُهُ خُيَلاَء
“Barang siapa yang menyeret pakaiannya karena sombong maka Allah
tidak akan memandangnya pada hari kiamat. Abu Bakar berkata : Wahai Rasulallah,
sesungguhnya salah satu sisi sarungku melorot kecuali jika aku senantiasa
menjaga diriku dari isbal. Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda :
Engkau tidak termasuk orang yang melakukannya karena sombong”. (HR. Bukhari No.
5784).
Sebahagian kita menjadikan hadits ini sebagai hujjah akan bolehnya
isbal selama tidak sombong, tapi disini perlu kita kaji kembali :
1. Abu Bakar –Radhiyallahu
‘anhu- mengatakan “kecuali jika aku senantiasa menjaga diriku dari
isbal”..kalimat ini menunjukkan bahwa beliau (Abu Bakar) tidak sengaja
melakukan isbal.
2. Ucapan Nabi –Shallallahu
‘alaihi wasallam- “Engkau tidak termasuk orang yang melakukannya karena
sombong” tidaklah menunjukkan akan bolehnya isbal jika tanpa kesombongan. Hal
ini bisa dilihat dari beberapa sisi :
a. Abu Bakar –Radhiyallahu ‘anhu-
sudah mendapat rekomendasi dari Nabi-Shallallahu ‘alaihi wasallam- bahwa beliau
bukanlah orang yang sombong dan memang tidak akan pernah sombong sehingga tidak
heran beliau bergelar As-Shiddiq.
b. Setelah kejadian dalam hadits ini maka
tidak ada lagi riwayat yang menunjukkan bahwa Abu Bakar kembali melakukan isbal
padahal beliau telah mendapat rekomendasi dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi
wasallam-. Kalau memang ada dalil yang menunjukkan bahwa Abu Bakar pernah
sengaja lagi melakukan isbal maka tolong datangkan dalil tersebut.
c. Dalam hadits ini ada dua jenis amalan
yang disebutkan :
- Amalan dzahir yang terlarang yaitu
Isbal. Disini Abu Bakar tidak sengaja melakukannya, bagaimana dengan
kita, sengaja atau tidak..??
- Amalan bathin yang terlarang yaitu
kesombongan. Kita semua tahu bahwa beliau mendapat gelar As-Shiddiq yang tentu
menunjukkan bahwa beliau tidak akan pernah sombong. Bagaimana dengan kita,
adakah rekomendasi itu..??..adakah jaminan kita tidak akan sombong..??
Dalil kesembilan :
Abu Bakrah –Radhiyallahu ‘anhu berkata :
خَسَفَتِ الشَّمْسُ وَنَحْنُ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَامَ يَجُرُّ ثَوْبَهُ مُسْتَعْجِلًا، حَتَّى أَتَى
المَسْجِدَ
“Telah terjadi gerhana dan kami berada disisi Nabi -Shallallahu
‘alaihi wasallam-. Kemudian Beliau berdiri dalam keadaan mengisbal sarung
beliau karena tergesa-gesa hingga Beliau mendatangi masjid. (HR. Bukhari No.
5785).
Coba kita perhatikan bahwa sarung Nabi –Shallahu ‘alaihi wasallam-
isbal karena tergesa-gesa dan tentu ini diluar kesengajaan Beliau. Mari kita
bandingkan dengan diri kita.
Dalil kesepuluh :
Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda :
إِزْرَةُ الْمُسْلِمِ إِلَى نِصْفِ
السَّاقِ، وَلَا حَرَجَ - أَوْ لَا جُنَاحَ - فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ
الْكَعْبَيْنِ، مَا كَانَ أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ فَهُوَ فِي النَّارِ، مَنْ
جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا لَمْ يَنْظُرِ اللَّهُ إِلَيْهِ
“Sarung seorang muslim hingga setengah
betis dan tidak mengapa jika berada diantara pertengahan betis dengan mata
kaki. Segala (kain) yang berada di bawah mata kaki maka (mata kaki itu) di
neraka. Barang siapa yang menjulurkan sarung (kain)nya karena sombong maka
Allah tidak akan melihatnya (pada hari kiamat). (HR. Abu Dawud No. 4093. Lihat
pula Kitab Al-Jami’us Shaghir No. 921).
Ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam hadits ini perihal
akibat dari isbal :
1. Segala (kain) yang
melewati mata kaki maka mata kaki itu di neraka. Ini menunjukkan bahwa orang
yang isbal dengan tidak disertai kesombongan maka hukumannya adalah bahwa mata
kaki tersebut di neraka.
2. Siapa yang melakukan
isbal karena sombong maka orang tersebut akan mendapatkan hukuman tambahan
yaitu tidak akan dipandang oleh Allah bahkan akan mendapatkan adzab yang amat
pedih sebagaimana dalil yang kesebelas.
Dalil kesebelas :
Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda :
ثلاثة لا يكلمهم الله يوم القيامة , وَلا
يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ ولا يزكيهم ولهم عذاب أليم : المسبلُ , والمنانُ , والمنفقُ
سلعتَه بالحلفِ الكاذب
“Ada tiga golongan yang tidak akan diajak bicara oleh Allah pada
hari kiamat, tidak akan dipandang oleh Allah, tidak akan dibersihkan
(disucikan) oleh Allah dan bagi mereka adzab yang amat pedih (yaitu) : orang
yang isbal (karena sombong), orang yang suka mengungkit pemberiannya dan orang
yang menjual barang dagangannya dengan sumpah palsu”. (HR. Muslim, Abu Dawud
dan Lihat pula kitab Shahih Al-Jami’us Shaghir No. 3067 dan kitab Ghayatul
Maram No. 170).
Dalil keduabelas :
Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda :
هَذَا مَوْضِعُ الْإِزَارِ، فَإِنْ أَبَيْتَ فَأَسْفَلَ، فَإِنْ أَبَيْتَ
فَأَسْفَلَ، فَإِنْ أَبَيْتَ فَلَا حَقَّ لِلْإِزَارِ فِي الْكَعْبَيْنِ
“Ini (pertengahan betis) tempatnya (ujung) sarung (kain), jika
engkau enggan maka dibawahnya, jika engkau enggan maka dibawahnya (lagi) dan
(maka) jika engkau enggan maka tidak ada hak bagi pakaian pada mata kaki” (HR.
Ibnu Majah : 3572 Lihat Kitab Shahih Ibnu Majah).
Berkata Syaikh Muhammad Fu’ad Abdul Baqi ketika mengomentari
kalimat “tidak ada hak bagi pakaian pada mata kaki” : maksudnya adalah
Janganlah engkau tutupi mata kaki dengan sarung (kain, dsb). (Lihat kitab Sunan
Ibnu Majah dengan komentar Syaikh Muhammad Fu’ad Abdul Baqi).
Pertanyaan buat sang Risih dan sang Pencela..: Apa faedahnya Nabi
mengucapkan kalimat –“...jika engkau enggan maka...dan jika engkau enggan
maka...dan jika engkau enggan maka..”- dalam hadits ini jika
seandainya isbal dengan tidak disertai kesombongan itu boleh..??!!..untuk apa
kalimat-kalimat itu..??!!..Apakah Nabi menyampaikan kalimat-kalimat itu karena
orang tersebut sombong..??!!..Jika iya, mengapakah Nabi tidak menegur
kesombongannya dimana hal itu lebih berbahaya daripada hanya sekedar
isbal..??!!. Ataukah Nabi ingin menunjukkan bagaimana cara berpakaian yang
wajib..??!!..Coba jawab wahai kalian yang merasa Tawadhu’..!!!...
BEBERAPA CATATAN PENTING
Sebuah pernyataan : “Hadits-hadits seputar isbal yang
bersifat muthlaq (seperti dalil ke 4,5,6,7,9,10, dan 12) harus dibawa kepada
hadits yang muqayyad (seperti dalil ke- 8 dan 11) sehingga isbal tanpa disertai
kesombongan tidaklah mengapa”.
TELAAH KAMI :
Perlu diketahui bahwa untuk membawa dalil muthlaq kepada muqayyad
maka syaratnya adalah :
1. Sebabnya sama dan akibatnyapun sama.
Contoh :
Allah Ta’ala berfirman :
حُرِّمَتْ
عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ
اللَّهِ بِهِ
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah,
daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah.....(Surah
Al-Maidah ayat 3)
Dan firman Allah dalam surah Al-An’am ayat 145 :
قُلْ لا
أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلا أَنْ
يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِير
Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam
wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak
memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau
daging babi”
Kata “darah” dalam surah Al-Maidah ayat 3 diatas
bersifat muthlaq (tidak terbatas untuk darah tertentu) sehingga ditaqyid
(dibatasi) dengan surah Al-An’am ayat 145 yang menyebutkan “darah yang
mengalir”.
Lalu disimpulkan bahwa yang dimaksud “darah”
yang diharamkan pada surah Al-Maidah ayat 3 diatas adalah darah yang mengalir
karena telah di taqyid oleh surah Al-An’am ayat 145 tersebut.
Alasannya adalah :
Sebab yang terdapat dalam kedua ayat diatas adalah sama yaitu kotor
(najis) lagi berbahaya sedangkan akibat yang terdapat
dalam kedua ayat diatas juga sama yaitu pengharaman sehingga
dalam keadaan ini sah dalil muthlaq dibawa kepada muqayyad.
2. Sebabnya berbeda
dan akibatnya sama.
Contoh :
Allah Ta’ala berfirman :
وَالَّذِينَ
يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ
رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا ذَلِكُمْ تُوعَظُونَ بِهِ وَاللَّهُ بِمَا
تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“Orang-orang yang menzhihar isteri mereka,
Kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib
atasnya) memerdekakan seorang hamba sahaya sebelum kedua suami
isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (Surah Al-Mujaadilah ayat 3)
Ayat ini menyebutkan kalimat “hamba sahaya” yang
bersifat muthlaq (baik mu’min maupun kafir).
Dan dalam firman Allah :
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَنْ يَقْتُلَ مُؤْمِنًا إِلا خَطَأً وَمَنْ قَتَلَ
مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى
أَهْلِهِ إِلا أَنْ يَصَّدَّقُوا فَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ عَدُوٍّ لَكُمْ وَهُوَ
مُؤْمِنٌ فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ بَيْنَكُمْ
وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ فَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ وَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ
مُؤْمِنَةٍ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ تَوْبَةً
مِنَ اللَّهِ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا
“Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh
seorang mukmin (yang lain), kecuali Karena tersalah (Tidak sengaja), dan
barangsiapa membunuh seorang mukmin karena sengaja (hendaklah) ia memerdekakan
seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar
diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka
(keluarga terbunuh) bersedekah. jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang
ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, Maka (hendaklah si pembunuh)
membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta
memerdekakan hamba sahaya yang beriman. barangsiapa yang tidak memperolehnya,
Maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk
penerimaan Taubat dari Allah. dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha
Bijaksana”.(Surah Annisa :92)
Ayat ini menyebutkan kalimat “hamba sahaya yang
beriman”, tentunya ini bersifat taqyid (pembatasan) sehingga yang dimaksud
“hamba sahaya” dalam surah Al-Mujaadilah ayat 3 diatas adalah “hamba sahaya
yang beriman” karena telah ditaqyid oleh surah Annisa ayat 92 tersebut.
Alasannya :
Sebab yang terdapat dalam kedua ayat diatas adalah berbeda yaitu dzihar dan membunuh sedang akibat yang
terdapat dalam kedua ayat diatas adalah sama yaitu memerdekakan
hamba sahaya sehingga dalam keadaan ini sah dalil muthlaq dibawa
kepada muqayyad.
3. Sebabnya sama dan akibatnya berbeda. (Ini butuh perhatian secara saksama
sehingga syarat ini tidak digunakan secara serampangan).
Seperti dalam firman Allah :
وَالَّذِينَ
يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ
رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا ذَلِكُمْ تُوعَظُونَ بِهِ وَاللَّهُ بِمَا
تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
فَمَنْ لَمْ
يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا فَمَنْ
لَمْ يَسْتَطِعْ فَإِطْعَامُ سِتِّينَ مِسْكِينًا ذَلِكَ لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ
وَرَسُولِهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ
(3)“Orang-orang yang menzhihar isteri mereka,
Kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib
atasnya) memerdekakan seorang hamba sahaya sebelum kedua suami isteri
itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan. (4). “Barang siapa yang tidak mendapatkan
(budak) maka (hendaklah) ia berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum
kedua suami isteri itu bercampur dan barang siapa yang tidak sanggup
maka ia memberi makan enam puluh orang fakir miskin. Demikianlah supaya
kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan itulah hukum-hukum Allah, dan bagi
orang-orang kafir ada siksaan yang sangat pedih. (Surah Al-Mujadilah ayat
: 3-4)
Ayat ini menerangkan bahwa orang-orang yang
mendzihar istrinya dan hendak menarik kembali ucapannya maka hukumnya adalah :
a. Suami membebaskan seorang hamba sahaya
yang beriman sebelum suami istri tersebut bercampur;
b. Jika tidak dapat melakukan hal diatas
maka sang suami berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum suami istri tersebut
bercampur;
c. Jika tidak sanggup melakukan kedua hal diatas
maka sang suami memberi makan enam puluh orang fakir miskin. Hanya saja dalam
poin yang ketiga ini tidak disebutkan kalimat “sebelum suami istri tersebut
bercampur” sehingga poin ketiga ini bersifat muthlaq (apakah itu sebelum
bercampur atau sesudah bercampur). Namun demikian poin ketiga ini tetap harus
ditaqyid sebab dua hukum sebelumnya bersifat taqyid yaitu dengan adanya
penyebutan “sebelum suami istri tersebut bercampur” ditambah lagi ketiga poin
ini memiliki sebab yang sama yaitu dzihar.
Sekarang kita hubungkan dengan isbal. Anggaplah
sebab utamanya sama yaitu isbal dengan hukum yang
berbeda yaitu siksaan yang amat pedih ditambah dengan bahwa Allah
tidak akan memandangnya pada hari kiamat kelak dan siksaan
sebatas mata kaki saja , tetapi bukankah perbedaan hukum ini
dipengaruhi oleh perbedaan keadaan pada tiap individunya yaitu sombong dan tidak
sombong..??!!.
Seandainyapun dalam hal (jika sebab sama dan
akibat berbeda) ini kita berpegang kepada pendapat yang menyatakan bahwa muthlaq
tidak boleh dibawa kepada muqayyad (sebagaimana pendapat Imam Ibnu Qudamah
–Rahimahullaah), maka ini pun lebih-lebih tidak akan mendukung pembolehan
isbal.
Namun jika sebabnya berbeda dan akibatnyapun berbeda maka para
ulama sepakat bahwa muthlaq tidak boleh dibawa kepada muqayyad.
Mari kita perhatikan dalil-dalil seputar isbal diatas maka kita
akan dapatkan :
1. Sebab-sebab yang
disebutkan didalam dalil-dalil tersebut berbeda-beda yaitu ada yang menyebutkan
isbal karena sombong dan ada yang tidak, bahkan sebagian dalil-dalil tersebut
menunjukkan haramnya isbal secara muthlaq.
2. Akibat yang terdapat dalam dalil-dalil
di ataspun berbeda-beda ; bagi yang isbal tanpa diikuti kesombongan maka
sebatas mata kakinya yang disiksa di dalam neraka. Sedangkan bagi yang isbal
dengan disertai kesombongan maka hukumnya berlipat ganda ; mereka tidak akan
dipandang oleh Allah, tidak diajak bicara, tidak dibersihkan (disucikan) dan
akan mendapatkan adzab yang amat pedih.
Inilah telaah kami sehingga menurut hemat kami dalil-dalil seputar
isbal di sini belum memenuhi kriteria dalil muthlaq dibawa kepada dalil
muqayyad.
Dan jika seandainya kita mau inshaf dalam melihat dan
memperhatikan secara saksama dalil ke 4,5,6,7,9,10, dan 12, maka
kita akan mengambil kesimpulan bahwa dalil-dalil tersebut justru menunjukkan
tidak bolehnya isbal secara muthlaq.
Untuk pembahasan muthlaq muqayyad ini silahkan merujuk kepada
kitab-kitab ushul fiqhi seperti kitab Mudzakkirah Ushul Fiqhi oleh
yang mulia al-Mufassir al-Ushuli Syaikh Muhammad Amin Asy-Syinqithi
–Rahimahullaah-, Ma’alim Ushul Fiqh ‘inda Ahlissunnah wal Jama’ah,
Syarhul Ushul min ‘Ilmil Ushul atau kitab-kitab ushul yang
lainnya.
Al-Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata
:
وحاصله : أن الإسبال يستلزم جرَّ الثوب
وجرُّ الثوب يستلزم الخيلاء ولو لم يقصد اللابس الخيلاء ويؤيده : ما أخرجه أحمد بن
منيع من وجه آخر عن ابن عمر في أثناء حديث رفعه : وإياك وجر الإزار فإن جر الإزار
من المخِيلة
“Kesimpulannya : Isbal itu pasti
menjulurkan pakaian, sedangkan menjulurkan pakaian itu merupakan kesombongan,
walaupun si pemakai tidak bermaksud sombong. Dikuatkan lagi dengan riwayat
dari Ahmad bin Mani’ dengan sanad lain dari Ibnu Umar ketika meriwayatkan
hadits yang beliau nyatakan marfu' : ("Jauhilah perbuatan menjulurkan
pakaian, karena menjulurkan pakaian itu adalah kesombongan”). (Fathul Baari :
10/264)
Buat si Risih dan si Pencela yang “tidak sombong”, yang hanya
menjadikan hinaan, celaan dan ketidak ilmiyahan sebagai dalil, ingatlah
firman Allah :
وَتَذُوقُوا السُّوءَ بِمَا صَدَدْتُمْ عَنْ
سَبِيلِ اللَّهِ وَلَكُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“ dan kalian akan merasakan kejelekan karena kalian telah
menghalangi manusia dari jalan Allah. Dan bagi kalian adzab yang (amat) besar”.
(Surah An-Nahl ayat 94).
Kami tetap meyakini bahwa persoalan hukum
Isbal ini masuk dalam ranah khilafiyah yang mestinya kita saling menghormati.
Adapun kami, maka kami lebih condong kepada pendapat yang menyatakan
ketidakbolehan Isbal secara muthlaq tanpa kami harus me"neraka"kan
individu-individu yang mengisbalkan pakaiannya.
WALLAAHU TA’AALA A’LAM BIS SHAWAAB
0 Komentar