HUKUM MENCIUM ISTRI KETIKA SEDANG BERPUASA
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum mencium (istri) ketika sedang berpuasa. Dan dalam hal ini terdapat tiga pendapat.
Pendapat pertama :
Boleh (secara mutlak). Ibnul Mundzir -rahimahullah- menukilkan pendapat ini dari sahabat ‘Umar bin Al-Khaththab, Ibnu ‘Abbas, Abu Hurairah, ‘Aisyah, Atha’, Asy-Sya’bi, Al-Hasan, Ahmad, dan Ishaq, bahwa mereka memberikan keringanan orang yang berpuasa untuk mencium istri di siang hari bulan Ramadhan.
Dalil dari pendapat ini di antaranya adalah hadits dari ‘Aisyah -radhiyallahu ‘anha-, beliau mengatakan :
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُ وَيُبَاشِرُ وَهُوَ صَائِمٌ وَكَانَ أَمْلَكَكُمْ لِإِرْبِهِ
“Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- mencium dan mencumbui (istri-istri beliau) padahal beliau sedang berpuasa. Dan beliau adalah orang yang paling mampu mengendalikan syahwatnya dibandingkan kalian.” (HR. Bukhari no. 1927 dan Muslim no. 1106)
Juga dari ‘Umar bin Al-Khaththab -radhiyallahu ‘anhu-, beliau berkata :
هَشَشْتُ فَقَبَّلْتُ وَأَنَا صَائِمٌ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ صَنَعْتُ الْيَوْمَ أَمْرًا عَظِيمًا قَبَّلْتُ وَأَنَا صَائِمٌ قَالَ أَرَأَيْتَ لَوْ مَضْمَضْتَ مِنْ الْمَاءِ وَأَنْتَ صَائِمٌ
“Aku merasa bahagia, lalu aku mencium (istriku), sementara aku dalam keadaan berpuasa. Lalu aku katakan, “Wahai Rasulullah, pada hari ini aku telah melakukan suatu perkara yang besar. Saya mencium (istriku) sementara saya sedang berpuasa.” Beliau -shallallahu 'alaihi wasallam- bersabda : “Bagaimana pendapatmu apabila engkau berkumur-kumur menggunakan air sementara engkau sedang berpuasa ?” (HR. Abu Daud no. 2385, Ad-darimi no. 1724, An-Nasa’i no. 3084. Al-Albani berkata : “Shahih”)
Pendapat kedua :
Haram secara mutlak. Pendapat ini disampaikan oleh Ibnu ‘Umar, Ibnu Mas’ud, dan Malik, sebagaimana dinukil oleh Ibnul Mundzir. Mereka mengatakan bahwa perbuatan tersebut akan menyebabkan rusaknya puasa, sehingga dilarang dalam rangka mencegah rusaknya puasa, lebih-lebih jika masih muda.
Pendapat ketiga :
Pendapat ini memberikan perincian. Ini adalah pendapat Abu Hanifah, Asy-Syafi’i, dan juga salah satu riwayat dari Imam Ahmad. Mereka mengatakan, jika perbuatan tersebut dapat membangkitkan syahwat maka tidak diperbolehkan. Akan tetapi, apabila tidak membangkitkan syahwat maka diperbolehkan.
Dalil pendapat ini adalah hadits yang diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu-, beliau berkata :
أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْمُبَاشَرَةِ لِلصَّائِمِ فَرَخَّصَ لَهُ وَأَتَاهُ آخَرُ فَسَأَلَهُ فَنَهَاهُ فَإِذَا الَّذِي رَخَّصَ لَهُ شَيْخٌ وَالَّذِي نَهَاهُ شَابٌّ
“Seorang laki-laki bertanya kepada Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- mengenai cumbuan orang yang berpuasa, lalu beliau memberikan keringanan kepadanya. Dan ada orang lain datang kepada beliau dan bertanya mengenai hal yang sama, lalu beliau melarangnya. Ternyata orang yang beliau beri keringanan adalah orang yang sudah tua, sedangkan orang yang beliau larang adalah orang yang masih muda.” (HR. Abu Daud no. 2387 dan Ahmad no. 24631. Al-Albani berkata : “Hadits hasan shahih”)
Pendapat yang lebih kuat adalah pendapat yang ketiga ini, yaitu membedakan antara yang berpotensi membangkitkan syahwat ataukah tidak, juga apakah masih muda atau sudah tua. Karena usia tua pada umumnya syahwatnya sudah lebih banyak berkurang. Inilah pendapat yang juga dipilih oleh mayoritas ulama.
At-Tirmidzi -rahimahullah- berkata :
“Para ulama dari kalangan sahabat Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- berbeda pendapat tentang hukum mencium istri bagi orang yang berpuasa. Sebagian sahabat memberikan keringanan untuk mencium istri bagi mereka yang sudah berusia tua dan tidak memberikan keringanan kepada mereka yang masih muda karena khawatir puasanya akan batal. Adapun perkara mencumbui istri, maka menurut mereka itu lebih besar perkaranya (dibandingkan hanya sekedar mencium).” (Sunan At-Tirmidzi : 1/387)
(Dari Kitab Raudhatul Mutanazzih Syarhu Bidayatil Mutafaqqih - Syaikh Aiman bin Ali Musa-)
(Muhammad Basit)
0 Komentar